Arak Abangan

Februari 15, 2008

Surat Untuk Rie 3

Filed under: Surat Untuk Rie — by arakabangan @ 5:30 pm

12 – 2 – 2008

Prolog

Garden party held today,

Invites call the debts to play.

Social climbers polish ladders,

Wayward sons once again have fathers.

Edgy eggs and queing cumbers,

Rudely wakened from their slumber,

Time has come again for slaughter,

On the lawns by still ‘cam’ waters….

(“Garden Party”, performed & Composed by MARILLION)

Pesta sudah dimulai, Rie. Manusia-manusia di kampus mulai kebingungan mencari tempatnya, mencoba meraba-raba statusnya, dan mengira-ngira setinggi apa prestisenya. Orang-orang yang dulunya liar, pun kini sudah memiliki panutan. Kalau kamu pernah melihat film berjudul Killing Fields, mungkin nanti akan seperti itu keadaannya. Bedanya, yang akan kita lihat hanya pembantaian antar teman ataupun kawan.

Semua memberi pembenaran pada apa yang dilakukannya. Semua saling mengendalikan, menunggangi demi makbulnya kepentingan mereka. Diamnya mereka selama ini, kesabaran mereka membangun jerat-jerat yang tak kasat mata. Saat status quo mulai goyah, taring-taring mulai menajam. Menunggu untuk menerkam dan memangsa manusia-manusia yang tak berdaya.

Menyedihkan, saat mereka tinggal selangkah dari menemukan jati diri. Akhirnya tumbang setelah terawai oleh hipokrisi. Yang lebih memasygulkan lagi, para hipokrit itu bepumpun menjadi satu wadah. Kau tahu Rie, apa lagu yang akan mereka nyanyikan? Mereka yang menganggap dirinya bahadur itu?

I am your battle priest, show me allegiance. I am your battle priest, pledge to me defiance. Suffer my pretty warrior, suffer my fallen child. The time has come to conquer and, i`ll provide your end…. We march!!!* (“Market Square Heroes”, preformed & composed by MARILLION)

I. Ribang

Sudah lama, sejak terakhir aku bertemu kamu. Aku yakin, sedikit banyak alterasi terjadi pada dirimu. Kita manusia adalah penganut renaisans sejati bukan? Tidak ada yang bisa menyangkal itu kurasa. Apakah manusia akan mengingkari proses? Akan sangat munafik jika tidak bisa menerimanya.

Apa kabarmu kali ini? Apakah dirimu masih setia menata serpihan-serpihan teka-teki duniamu? Apa kau sadar, Rie, serpihan yang kau coba untuk rapikan itu akan selalu membidas. Ke atas dan ke bawah. Tak akan pernah berhenti berfluktuasi mengiringi jalannya sang waktu.

Kau mafhum akan kehadiran sang waktu bukan? Takutlah padanya, karena dia tidak akan menunggu manusia yang masih gemar hidup di masa lalu. Masa di mana tidak ada waktu. Masa yang sunyi, tak bernyawa, hanya dipenuhi bahana kesedihan pun tawa-tawa gembira. Masa lalu, Rie, akan selalu berakhir menjadi histeria, seindah apapun wujudnya, sesyahdu apapun melodinya.

Lalu apa guna manusia merindu? Apakah dengan merindu manusia akan menjadi munafik? Tidak Rie, itu hanya wujud afeksi manusia pada seseorang yang dikasihinya, dicintainya. Manusia yang sedang dirundung keinginan untuk membagi cintanya. Dan kurasa itu cukup untuk menjelaskan pada kompanyonku mengapa pelupuk mataku menghitam. Terlalu sering terjaga sehingga jarang terlelap.

When we touch, I just lost my self control. A sad sensation I can`t hide. To love Is easy, it ain`t easy to walk away. I keep the faith & there`s a reason why. No need to worry, no need to turn away, cause it don`t matter.. anyway….. I miss you in a heartbeat, I miss you right away, because it ain`t love if it don`t feel that way…. (“I miss you in a heartbeat”, performed & composed by Def Leppard)

II. Loyalitas & Komitmen

Dari dinding-dinding kamarku kadang terdengar suara-suara penuh tanya. Suara lolongan anjing pun terasa seperti requiem, menyambut kedatangan peri-peri malam. Semua menemani keterjagaanku, memandangi cakrawala hitam penuh gemintang dengan kirananya yang berbinar mungil.

Tapi saat aku bertanya pada mereka, untuk apa aku terlahirkan ke dunia ini? Mereka terdiam, tanpa suara. Tidak pun desisan nyamuk yang rutin mengganggu tidur, yang kurasa sudah jarang terjadi akhir-akhir ini. Bahkan aku tidak merasakan jemariku melepuh tersulut bara sigaret yang semakin memendek.

Dalam kesunyian aku merasa takut. Dalam keheningan aku merindu. Buaian-buaian manja. Sandungan-sandungan penuh kasih sayang. Dari mereka yang berada di lingkar terdalam hidupku. Mereka yang pantas kuhargai dan kusanjung. Yang bahkan aku rela menyerahkan nyawaku, demi melihat senyum kebahagiaan tersungging di wajah mereka. Mereka yang dimana kuletakkan loyalitas dan komitmenku.

Dari Ayahku aku mendapatkan keteguhan hati dan sifat keras kepalaku. Hal itu yang membuatku mampu menentukan sikap. Pada Ibuku aku bisa berbesar hati menikmati hangat kasih sayangnya yang tak terbatas. Darinya aku diwarisi rasa cinta. Demi adik-adikku aku sanggup belajar untuk mencintai dan menjaga keseimbangan keluargaku. Karena keluarga Rie, asal-muasal kasih sayang itu. Dan semua didapat tanpa pamrih.

Kompanyonku Rie, tanpa mereka mungkin aku tidak akan pernah belajar menerima kenyataan. Kata-kata mereka, caci-maki mereka, itulah penjelmaan kasih sayang mereka padaku. Hanya mereka yang berhak menampar mukaku. Tamparan yang akan menjagaku sebelum tenggelam terlalu dalam menuju keterpurukan. Kompanyonkulah penjaga sejati bagi diriku. Begitu juga diriku bagi mereka.

Dan yang terakhir, juga paling berharga dalam hidupku, seseorang yang bersedia dengan ikhlas menyambut harapanku. Harapan untuk berbagi cinta denganku. Padanya aku akan memberikan separuh hatiku. Deminya aku akan mengakhiri pertanyaan-pertanyaanku. Karena aku yakin darinya aku menemukan jawaban-jawabanku. Sekadar dengan melihat ruku’-nya, sujudnya, aku merasa nyata. Kalaupun itu yang disebut cahaya, mungkin aku bisa mempercayainya. Dialah tujuan hidupku.

Kurasa sudah tidak perlu kujelaskan lebih lanjut lagi pada siapa aku berharap, yang akan kuberikan loyalitas dan komitmenku yang ketiga. Dengan bertingkah laku seperti ini padamu, kupikir sudah amat sangat jelas semua faal itu kutujukan padamu.

Ya, hanya untuk kamu Rie.

III. Epilog

Pereka cipta bahkan tidak bisa menjelaskan semua afeksi yang kutujukan padamu. Komposisi-komposisi berliku yang membawaku pada kesadaran saat ini. Rona-rona nurani yang semakin cemerlang. Semua terjadi bagai lantunan staccato irama-irama kehidupan. Menusuk tepat di sentral detak-detak nadi yang menghidupi manusia.

Mungkin akan lebih bijak jika kau tidak mencoba untuk mengerti alasanku bertindak seperti ini. Aku ini bebal pada kenyataan yang kini sudah terhampar jelas di hadapanku. Perlukah kita membangun ikrar dalam keadaan ini? Semua ada di tanganmu Rie. Karena aku tak (mungkin) bisa memadamkan api ini sendirian.

Tinggalkan sebuah Komentar »

Belum ada komentar.

RSS feed for comments on this post. TrackBack URI

Tinggalkan komentar

Buat situs web atau blog gratis di WordPress.com.