Arak Abangan

November 16, 2010

“Aku Merasa Liar di hadapan Bocah-Bocah Kecil”

Filed under: Selingan — by arakabangan @ 7:45 am
Tags: , ,

SMA Pangudi Luhur Van Lith Muntilan mendadak ramai. Sejak diliburkan, kompleks sekolah ini menjadi barak pengungsian bagi penduduk sekitar Muntilan yang terkena dampak erupsi gunung Merapi. Ada lebih dari 1,500-an pengungsi, rata-rata dari daerah Sumber, yang eksodus sementara ke sekolah ini. Tak terkecuali bocah-bocah kecil, sekira 100-an anak di satu ruang kelas lantai dua, pada Rabu siang, 10 November 2010.

Bocah-bocah itu bernyanyi riang. Di tengah mereka tampak seorang perempuan, mengenakan kaos putih – ada coretan pensil warna bertuliskan public relation pada bagian punggung kaos – yang memberi komando. Sepasang matanya, tersembunyi di balik kacamata, memancarkan semangat. Cicilia Graita Purwa Amarta, atau akrab dipanggil Tata, perempuan kelahiran 28 Desember 1990 ini sudah lebih dari seminggu menjadi relawan. “Kebetulan aku alumni SMA Van Lith, jadi milih relawan di sini,” ujarnya.

Siang itu, dengan cuaca mendung dan hujan abu tipis, ada hiburan “Puppet Show” di posko SMA Van Lith. Ia dibawakan oleh sekumpulan pemuda kreatif yang biasa mangkal di daerah Sendowo, belakang Sekip Universitas Gadjah Mada. Bentuknya, sebuah pertunjukan drama boneka berwujud hewan yang cukup mengocok perut. Tata menjadi pembawa acara dadakan ini. Dia tampak berhasil membawa keceriaan pada bocah-bocah pengungsi. Sejak menempuh sekolah menengah pertama, Tata sudah aktif dalam kegiatan gereja yang berhubungan dengan pendampingan iman anak. “Dari situ aku jadi terbiasa berbaur dengan anak kecil. Selain itu, di depan bocah-bocah ini aku bisa menjadi liar mengekspresikan diriku.”

Terkadang, menurut Tata, menjadi relawan bukan hal mudah, “Terkadang capek dan jenuh menjadi relawan.” Di posko ini, ada sekira 50-an relawan. Ini jumlah yang masih terbilang kecil guna membawahi 1,500-an pengungsi. Namun Tata meyikapinya dengan bijak. ”Aku bisa jadi lebih peka terhadap keadaan. Selain itu bisa kumpul lagi dengan kawan-kawan waktu SMA dulu,” katanya.

Sekurangnya dua minggu sesudah letusan Merapi pada 26 Oktober lalu, saat erupsi besar kedua, semua kegiatan pendidikan di Yogyakarta diliburkan. Tata, sekarang mahasiswi Universitas Atmajaya jurusan komunikasi, juga ikut libur. Saat sebagian besar kawannya mengungsi ketakutan, atau memilih pulang kampung karena keluarga mereka juga cemas, Tata memilih untuk bantu pengungsi yang notabene kehilangan rumah dan mata pencaharian.

Di bekas sekolahnya ini, berjarak sekitar tujuhbelas kilometer dari puncak Merapi, dia masih bertahan layaknya relawan lain dari kalangan mahasiswa. Mereka saling berjibaku membantu kebutuhan pengungsi setiap hari. Tata berharap keadaan kembali normal dan pengungsi kembali pulang ke rumah.

“Harapanku sih, pengungsi bisa pulih secara psikologis,” tuturnya. (Ridhani Agustama)

Buat situs web atau blog gratis di WordPress.com.